Pages

Rabu, 20 Juni 2012

Surga di Telapak Kaki Uang


“Ooh, Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku” (Bunda-Melly Goeslow)

Ya, tentang Ibu. Selalu banyak ekspresi, diksi dan harmonisasi jika sudah membicarakan sosok Ibu, pahlawan tanpa tanda-tanda. ‘Surga di telapak kaki Ibu’ saya rasa kalimat itu sudah sangat tersohor di telinga pembaca. Hanya saja pada kenyataannya banyak telapak lain yang justru dijadikan kiblat surga ketimbang kaki Ibu. Telapak uang misalnya, demi uang banyak juga dari kita tega meracik kata manis untuk membohongi Ibu kandung kita sendiri.
Entahlah, sudah menjadi kebiasaan ataukah penyakit yang sulit ditinggalkan. Justru yang sudah menjadi kebiasaan inilah yang belum tentu benar. Cerita-cerita tentang kasih Ibu, puisi-puisi tentang cinta Ibu banyak sekali kita dendangkan dan renungkan. Tapi, entah karena otak kita yang sudah dibekukan oleh hasrat-hasrat kehidupan kota ataukah karena lingkungan kita yang semakin terkulturasi oleh budaya-budaya lain yang masuk dan ikut melingkar membudidayakan budaya asing hingga kita dengan mudahnya lupa terhadap surga di telapak kaki Ibu dan malah menjadikan telapak-telapak lain sebagai surga?
Ahh, hanya saja kausalitas dari kejadian di atas tidak semestinya mengikis rasa peka kita terhadap pengorbanan seorang Ibu. Banyak sekali kejadian di sekeliling saya yang membuat saya sangat prihatin. Banyak dari mereka begitu meremehkan tentang perhatian seorang Ibu atau bahkan tidak sedikit pula yang membangkang hanya karena kekurangan uang bulanan misalnya.
Bukankah kita dianugrahi daya nalar dan perasaan untuk bisa saling memahami dan mengerti? Lalu, bagaimana jika memang Ibu kita sedang tidak bisa mengirim uang? Masihkah kita berteriak dan memaksa? Tidakkah kita belajar berlegowo? Atau kenapa tidak kita mencoba untuk mencari uang sendiri?
Saya agak sedikit heran memang. Uang bulanan yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan perut dan kuliah justru dapat habis sekejap saat berkeliling di mall-mall kota. Lagi-lagi kita ditantang untuk dapat memenej diri. Pada kenyataannya, mereka yang berlenggak-lenggok di mall-mall kota memang akan sulit lagi membedakan mana kebutuhan mana hasrat. Terkadang untuk sesuatu hal yang hanya mendapat label ‘lucu’ oleh mata kita padahal tidak terlalu penting kita akan rela merogoh kocek puluhan ribu bahkan ratusan tibu rupiah.
Miris memang. Tapi inilah kenyataannya. Uang sudah menjadi ‘telapak lain dari munculnya surga baru’ yang justru mensurgakan ego dan kenyamanan pribadi yang akan mematikan rasa peka kita terhadap pengorbanan seorang Ibu. Bukan hanya itu, pada akhirnya perlahan kita akan menutup mata terhadap lingkungan kita. Inilah yang semakin mengerikan. Harus ada alternatif solusi jika di lingkungan kita sudah muncul ‘surga-surga baru’. Menciptakan kesadaran lewat tulisan-tulisan misalnya atau dengan cara-cara lain. Karena masing-masing memiliki cara yang unik untuk menciptakan kesadaran-kesadaran akan kebenaran. (nia)