“Ooh, Bunda
ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku” (Bunda-Melly Goeslow)
Ya, tentang
Ibu. Selalu banyak ekspresi, diksi dan harmonisasi jika sudah membicarakan
sosok Ibu, pahlawan tanpa tanda-tanda. ‘Surga di telapak kaki Ibu’ saya rasa
kalimat itu sudah sangat tersohor di telinga pembaca. Hanya saja pada
kenyataannya banyak telapak lain yang justru dijadikan kiblat surga ketimbang
kaki Ibu. Telapak uang misalnya, demi uang banyak juga dari kita tega meracik
kata manis untuk membohongi Ibu kandung kita sendiri.
Entahlah,
sudah menjadi kebiasaan ataukah penyakit yang sulit ditinggalkan. Justru yang
sudah menjadi kebiasaan inilah yang belum tentu benar. Cerita-cerita tentang
kasih Ibu, puisi-puisi tentang cinta Ibu banyak sekali kita dendangkan dan
renungkan. Tapi, entah karena otak kita yang sudah dibekukan oleh hasrat-hasrat
kehidupan kota ataukah karena lingkungan kita yang semakin terkulturasi oleh
budaya-budaya lain yang masuk dan ikut melingkar membudidayakan budaya asing
hingga kita dengan mudahnya lupa terhadap surga di telapak kaki Ibu dan malah
menjadikan telapak-telapak lain sebagai surga?
Ahh, hanya
saja kausalitas dari kejadian di atas tidak semestinya mengikis rasa peka kita
terhadap pengorbanan seorang Ibu. Banyak sekali kejadian di sekeliling saya
yang membuat saya sangat prihatin. Banyak dari mereka begitu meremehkan tentang
perhatian seorang Ibu atau bahkan tidak sedikit pula yang membangkang hanya
karena kekurangan uang bulanan misalnya.
Bukankah kita
dianugrahi daya nalar dan perasaan untuk bisa saling memahami dan mengerti?
Lalu, bagaimana jika memang Ibu kita sedang tidak bisa mengirim uang? Masihkah
kita berteriak dan memaksa? Tidakkah kita belajar berlegowo? Atau kenapa tidak
kita mencoba untuk mencari uang sendiri?
Saya agak
sedikit heran memang. Uang bulanan yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan
perut dan kuliah justru dapat habis sekejap saat berkeliling di mall-mall kota.
Lagi-lagi kita ditantang untuk dapat memenej
diri. Pada kenyataannya, mereka yang berlenggak-lenggok di mall-mall kota
memang akan sulit lagi membedakan mana kebutuhan mana hasrat. Terkadang untuk
sesuatu hal yang hanya mendapat label ‘lucu’ oleh mata kita padahal tidak
terlalu penting kita akan rela merogoh kocek puluhan ribu bahkan ratusan tibu
rupiah.
Miris memang.
Tapi inilah kenyataannya. Uang sudah menjadi ‘telapak lain dari munculnya surga
baru’ yang justru mensurgakan ego dan kenyamanan pribadi yang akan mematikan
rasa peka kita terhadap pengorbanan seorang Ibu. Bukan hanya itu, pada akhirnya
perlahan kita akan menutup mata terhadap lingkungan kita. Inilah yang semakin
mengerikan. Harus ada alternatif solusi jika di lingkungan kita sudah muncul
‘surga-surga baru’. Menciptakan kesadaran lewat tulisan-tulisan misalnya atau
dengan cara-cara lain. Karena masing-masing memiliki cara yang unik untuk menciptakan
kesadaran-kesadaran akan kebenaran. (nia)