Pages

Kamis, 09 Agustus 2012

INDONESIA BUKAN NEGARA TEMPE

Oleh: Nia Nurohmiasih

DI sepanjang tahun 2012, Indonesia semakin dilanda krisis dan penjajahan dari berbagai bidang. Entah penjajahan dari segi mental maupun ekonomi. Tentu masih hangat di telinga kita bagaimana stasiun-stasiun televisi menyajikan berita tentang kelangkaan kedelai, pengrajin tempe dan tahu yang terpaksa tutup karena harga kedelai yang digunakan sebagai bahan dasar melambung tinggi hingga tayangan membanjirnya kedelai impor. Ya, pasar Indonesia kembali diperkosa. Dengan masuknya kedelai impor Amerika Serikat dengan pajak yang diturunkan hingga 0% (Skep Mendagri per 26/07/2012) semakin menunjukkan bahwa Indonesia memang bangsa bermental tempe yang kehilangan tempe
  
    Dilematis memang ketika kebutuhan kedelai Nasional diperkirakan hingga mencapai 2,2 juta ton ternyata tidak seimbang dengan hasil panen petani kedelai yang hanya mencapai ±800.000 ton saja. Terdapat kesenjangan antara produksi kedelai dengan kebutuhan kedelai secara Nasional. Inilah yang menjadi dalih pemerintah saat menurunkan bea masuk kedelai impor yang tadinya 5% menjadi 0%, seperti dikutip dari harian Kompas (27/07)

            Kebijakan klasik yang menikam petani Indonesia di tengah-tengah krisis pangan. Padahal, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Haryono mengungkapkan Indonesia sesungguhnya kaya akan varietas kedelai. Hingga hari ini Indonesia memiliki 73 varietas. Indonesia pun memiliki benih dari hasil persilangan dan cocok untuk ditanam di berbagai kondisi tanah. kedelai di Indonesia sudah bisa dipanen dalam waktu 80-90 hari, sedangkan kedelai di Amerika Serikat butuh waktu sekitar 130 hari, ujarnya.

Indonesia sebenarnya mampu bersaing dengan Amerika Serikat dan tidak perlu impor jika memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh pertanian Indonesia. Miris memang, ketika Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah tetapi masih menghamba kepada Negara asing. Tentu masih ingat dibenak kita bagaimana pemerintah dengan mudahnya mengimpor berbagai komoditas seperti bawang, tanaman rempah, produk hortikultura dan buah-buahan hingga garam. Petani Indonesia semakin termarginalkan. Pada akhirnya, Indonesia akan memasuki era neoliberalisasi akut yang mengancam perekonomian Indonesia.

Awal mula neoliberalisasi ekonomi sebenarnya terjadi ketika Soeharto menandatangani LOI (Letter of Intent) dari IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Yang dampaknya sangat terasa hingga hari ini. Hal itu terbukti bagaimana kapitalis dan bangsa asing dengan mudahnya keluar masuk pasar Indonesia yang semakin mematikan pasar-pasar tradisonal di Indonesia. Inilah yang semakin mengerikan ketika supply dan demand memasuki equilibrium baru, pemerintah tidak akan mampu melindunginya karena Indonesia sudah berada dalam genggaman dominasi Negara asing yang memiliki kekuatan ekonomi lebih besar.

Bukan hanya itu sebenarnya, menjalarnya neoliberalisasi juga karena faktor pendidikan ekonomi kita yang cenderung ke arah neoliberasisasi. Andaikan calon ekonom tersebut dididik dalam kerangka kerakyatan dimana kesejahteraan bukan hanya milik segelintir orang tetapi memikirkan bagaimana nasib bangsa ke depan maka tidak akan lagi ada ekonom kita yang menerapkan neoliberalisasi yang akhirnya menimbulkan ruang kesenjangan yang makin besar diantaranya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Indonesia sudah kehilangan berbagai kekayaan dan potensi hingga dicap sebagai ‘bangsa bermental tempe’. Lalu, haruskah Indonesia kehilangan tempe? Harus ada alternatif solusi jika sudah seperti ini, yakni mengembalikan perekonomian Indonesia ke dalam naungan kerakyatan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Indonesia memang menganut sistem perekonomian kerakyatan yang dicetuskan oleh Moh. Hatta (Wapres RI ke 1), namun pada implementasinya justru menjauh dari nilai-nilai perekonomian kerakyatan. Sudah waktunya Indonesia mengembalikan perekonomian kepada pilar-pilar kerakyatan dan memperkuat perekonomian pedesaan dengan memaksimalkan potensi pertanian yang disesuaikan dengan regulasi dan implementasi yang pro rakyat agar tidak dicap lagi sebagai ‘Bangsa bermental tempe yang kehilangan tempe’.

Minggu, 05 Agustus 2012

Suka Menulis Tapi Tidak Menulis?!?



Apa yang sedang kau lakukan, Nona? Menulis untuk bulan Juli? sekarang sudah masuk bulan Agustus, kemana kau selama 1 bulan ini?!? Blogmu kelaparan akan tulisanmu! Ahh, kenapa kau menjadi amat menyebalkan. Apa yang sudah kau lakukan untuk perubahanmu? Masih adakah alasan untuk tidak menulis? Netbook sudah ada, buku, pulpen pun sudah ada! Lalu kenapa tidak menulis? Enyah sajalah kau ditelan rasa malasmu! Ayolah, umurmu sudah masuk 20 tahun, seperlima abad, Nona! Sudah kau gunakan untuk apa? Sudah melakukan perubahan apa?!? Astagfirullah.. Rutuukku dalam hati.
            Menulis. Kegiatan sederhana yang kita pun terkadang tidak pernah menyadari bahwa itu adalah aktivitas yang seringkali kita lakukan. Menulis status facebook misalnya, mengetik sms atau yang lainnya. Hanya saja bayangan kita tentang menulis mungkin terlalu berlebihan, harus berlembar-lembarlah, harus dengan aturan inilah atau aturan itulah. Ternyata menulis sangat sederhana. Tulislah apa yang ada dalam pikiranmu. Tentang aturan dan sebagainya kita dapat mengatur ulang kembali setelah tulisan itu jadi dan mengalir. Sebelum dipublikasikan, sebaiknya dibaca berkali-kali untuk disulam atau ditambal (baca: diedit). Harus tekun dan sering dilatih. Itulah konsekuensinya jika ingin menjadi penulis handal yang bermanfaat.
            Tapi, tetap saja jemari kita terkadang bingung mengawali sebuah tulisan? Apa lagi untuk penulis pemula sepertiku. Sungguh, banyak godaan yang menghampiri jika hendak menulis, entah ketiduran atau malah tertarik dengan cemilannya saja. Ini yang amat menyebalkan. Aku yang terkadang heran, kenapa masih saja rasa malas melekat dalam diri padahal aku sadar bahwa malas itu tidak baik. Konstruks ini yang mesti dirubah jika kita ingin merasakan manfaat yang luar biasa dari menulis.
            Aku rasa bukan hanya aku yang merasakan kegundahan untuk memulai apa dan bagaimana mengawali sebuah tulisan. Harus ada upaya serius yang dilakukan diri kita sendiri untuk merubah konstruks seperti itu. Rajin membaca misalnya untuk menambah perbendaharaan kata agar pada saat menulis kita akan lebih lugas dan mengalir dalam hal merangkai kata. Fokuskkan tulisan dan cari anglenya. Inilah hal yang paling penting dalam sebuah tulisan ketika tulisan itu mampu memiliki roh dan pesannya tersampaikan kepada pembaca.
            Banyak hal sebenarnya di sekitar kita yang dapat dijadikan tulisan. Hanya saja terkadang kita tidak mampu tegas pada diri sendiri. Karena pilihannya sebenarnya hanya dua, menulis atau tidak menulis? Pada dasarnya menulis juga adalah suatu keputusan. Keputusan untuk memilih satu dari dua pilihan. Keputusan untuk mengabadikan sebuah peristiwa, moment ataupun hanya sekedar imajinasi yang mencoba direkam lewat diksi.
            Pada saat kita memutuskan untuk tidak menulis juga sebenarnya kita malah akan selalu menulis namun berbeda maksud dan tujuannya. Menulis yang aku maksudkan disini adalah menulis yang tidak sekedar beronani dan dibaca sendiri. Ya, kita seringkali membuat tulisan entah artikel, puisi, ataupun cerpen tetapi tidak memiliki keberanian untuk dipublikasikan. Padahal sebuah tulisan itu adalah sarana untuk menyebarluaskan informasi yang bermanfaat ataupun menyiratkan makna kebenaran dalam sebuah karya kepada pembaca. Inilah yang seharusnya kita rubah yakni bagaimana kita memandang sebuah tulisan itu merupakan alat perubahan untuk perbaikan mental maupun pola pikir masyarakat yang sejatinya dapat kita pertanggungjawabkan. Aku memandang sebuah tulisan itu normatifnya harus disajikan secara lugas dan bermanfaat sehingga dapat memiliki ruang manis di hati pembaca.
            Seperti yang aku alami sekarang ini, aku memang sedang bingung ingin menulis tentang apa. Tulisan ini sebenarnya hanya caraku untuk memotivasi diri sendiri dan membiarkan jemariku berkeliaran memadukan diksi yang aku pun tidak tahu apakah EYDnya sudah benar atau tidak. Aku hanya ingin mencoba menulis dan menulis. Menulis apa yang ada dalam pikiranku. Mulai saat ini aku harus mulai tegas pada diriku. Blog harus kuberi nutrisi tulisanku minimal 1 minggu sekali. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus memulainya sedari sekarang jika ingin tulisanku dapat bermanfaat untuk lingkunganku. Bismillahirrahmanirrahim :)