“Aku melihatmu,
Rai. Saat lampu dinyalakan, aku yang sedari tadi menjadi MC di acara nonton dan
diskusi dokumenter film langsung menyapu pandanganku ke seluruh ruangan.
Dokumenter film telah usai ditayangkan acara selanjutnya adalah diskusi santai
tentang dokumenter film tersebut, sebelum diskusi aku mempersilakan peserta
untuk istirahat dan meregangkan badan. Kutatap satu persatu penonton yang
hadir. Aku mencarimu, Rai, dan sekarang aku melihatmu.
Ternyata tidak ada yang berubah darimu, Rai. Kau masih tetap saja terlihat
manis dengan upluk di kepalamu, sweeter abu, celana jeans dan sepatu tempurmu
itu. Aku tersenyum kecil melihatmu. Aku jadi ingat, dulu kau pernah mengeluh
manja tidak percaya diri dengan model rambutmu yang sekarang. Makanya kau
sering sekali mengenakan upluk. Ah, aku mencintai segala hal yang ada pada
dirimu, Rai. Aku tidak peduli model rambutmu seperti apa? Yang aku tahu, Rai
tetap menjadi Rai yang manis bahkan lebih imut dengan model rambut sekarang.
Saat aku melihatmu. Sungguh demi apapun aku ingin langsung menghambur ke
arahmu, sekedar ingin berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih telah
datang. Baru lima langkah, langkahku terhenti. Mataku tertegun melihatmu
berbincang dengan seorang wanita. Parasnya ayu. Dia mengenakan dress hijau,
anggun. Jilbabnya dililitkan kedepan dan ke belakang, terlihat modis dan
cantik. Seketika itu, aku langsung melihat diriku. Aku masih saja bertahan
dengan celana jeans belel, kaos oblong, dan jilbab yang kupakai sekenanya.
Wajahku pun hanya dipoles pelembab, taburan bedak bayi, dan sedikit lip ice.
Minimalis. Aku tidak lihai dalam berdandan.
Aku mundur beberapa langkah. Aku tidak ingin merusak perbincanganmu dengan
wanita itu. Tidak lama, di tengah-tengah kerumunan kakiku sepert dipaku,
lidahku kelu melihatmu berjalan beriringan dengan wanita itu keluar ruangan.
Tuhan mohon stabilkan irama jantungku agar tidak jatuh di kerumunan.
Astagfirullah, Siapa dia? Sudahlah, bisa jadi itu saudara atau sepupunya, atau
temannya. Aku tidak ingin berjalan dengan prasangka-prasangka negative yang
terkadang kubuat sendiri. Kutarik nafas perlahan dan kusunggingkan senyum.
Cerialah Alma! :D”
Acara nonton dan diskusi dokumenter film tentang potret nelayan telah usai
sejak satu jam lalu. Aula sudah hampir sepi, hanya beberapa orang panitia yang
tersisa di Aula ini. Mereka sedang bersih-bersih terkecuali Alma. Dia masih
saja duduk di pojok Aula dengan buku catatan dan pena yang digoyang-goyangkan
mengikuti jalan kertas yang masih kosong. Dia seolah ingin terus menulis
memenuhi jalan-jalan kertas yang masih bersih dan polos itu.
“Al, kamu lagi ngapain deh? Ayoo sini bantuin kita! Sebentar lagi selesai neh!”
Teriak Nanin sambil merapikan kabel-kabel proyektor.
“Oh, lagi beres-beres ya? Hahah, lupa! Biasa penaku suka goyang-goyang di tas
kalo udah nemuin sinyal diksi! Hehehe” Alma cengengesan.
“Beuh, segitunya kamu, Al! Kenapa kamu gak ngambil sastra aja seh tiba-tiba
banting stir ke Perikanan? Ckck,” Nanin masih merapikan proyektor.
Alma menghela nafas panjang sembari mengambil sapu di pojok ruangan. “Nanin
sayang, emang salah yah kalo mahasiswa perikanan nulis puisi, cerpen atau
hal-hal yang berbau sastra?”
“Ya, nggak juga seh, tapi setidaknya itu membuatmu lebih fokus dan bisa
berenang sampai kedalamannya, gak cuma ngobok-ngobok airnya doang.” Jelas
Nanin.
Alma membalas dengan senyuman, “Emang kita pernah tau kedalamannya sampai mana?
Dari dulu juga aku maunya emang jurusan sastra dan kuliah di Yogya atau
Bandung.”
“Gak mesti jauh-jauh ke Yogya atau Bandung, kuliah itu ya tergantung kamunya,
disini juga kan ada jurusan sastra. Sayang lho Al sama bakatmu!” Nanin kini
beralih merapikan map-map di meja tamu.
“Almarhum
Bapak maunya aku di jurusan Perikanan dan kuliah dekat dari kotaku, ya Cirebon
ini yang paling dekat dengan Majalengka, sedangkan di Majalengka gak ada
jurusan perikanan, Nan. apalagi aku anak tertua. Aku juga gak tega sama Ibu dan
adik-adikku, nanti siapa yang ngurusin balong-balong ikan peninggalan almarhum
bapak, itu satu-satunya pencaharian keluargaku. Aku ikhlas ko masuk perikanan
dan bukan berarti aku harus berhenti untuk belajar sastra kan? Menurutku,
ikan-ikan yang berdzikir kepada Tuhan dengan cara berlenggok-lenggok itu sangat
puitis.” Mata Alma berbinar.
“Kamu ini
bisa aja ya, hahaha... tapi bener juga seh, Al. Sempit banget ya, kalo kita
berpikiran bahwa kita mahasiswa jurusan Perikanan haram untuk belajar ilmu
lain, melulu harus berkutat dengan ilmu-ilmu keperikanan aja, yang ada nanti
malah merasa bahwa ilmu kita paling benar dan yang lain itu cuma buang-buang
waktu mempelajarinya, padahal ilmu itu kan saling terhubung.” celoteh Nanin
sambil mengeser-geser meja tamu ke tempat semula.
“Tergantung
kecenderungan orang tersebut, Nan. Toh pilihan-pilihan itu sudah ada tinggal
keberanian dari kita untuk memilih. Ya, menentukan sikap. Bahkan suatu saat aku
bermimpi ingin membuat sebuah novel tentang kehidupan nelayan di sekitar kita
sampai kisah-kisah nelayan di perbatasan sana.” Mata Alma menerawang sembari
memainkan sapu di tangannya.
“Keren! Nanti sekalian kamu bikin novel tentang kisah hidupku juga dong Al!”
Nada Nanin memohon sembari merapikan rambutnya yang tergerai indah.
“Aduh,
kisah hidupmu itu kalo ditulis lebih dari beratus-ratus halaman dan
observasinya mungkin harus ke luar pulau, belum lagi detail-detail kisah kamu
bisa terdampar disini kan panjang banget. Bisa nyampe tua aku nyelesein kisah
kamu, Nan. Hahahaha..” Alma dengan raut meledek.
“Sialan!” Bibir Nanin manyun.
“Cie, menggemaskan deh Nona Nanin kalo lagi manyun” Alma sembari
mengacak-ngacak rambut Nanin.
“Almaaa, aku paling gak suka rambutku diacak-acak. Aduh, ini rambut kan udah
aku kasih vitamin, nanti bisa-bisa penyakitan kalau dipegang kamu” Nanin
setengah teriak.
Alma hanya tertawa geli melihat Nanin menambah pose bibirnya ke depan, semakin
manyun.
“Ada apan seh? Rame banget ikutan dong!” Fajar masuk ke Aula sembari membawa
air mineral. Tanpa berpikir panjang Nanin langsung mengambil air mineral di
tangan Fajar.
“Nanin, kebiasan deh kamu, kebagian semua ko!” Fajar tersenyum kecil melihat
Nanin.
“Alma buat kamu!” Fajar menyodorkan air mineral ke arah Alma.
“Oh, iya, makasih, Jar!” Alma tersenyum manis.
“Tadi kamu ketemu Raihan?” tanya Fajar sembari menjatuhkan tubuhnya di kursi.
“Nggak, tapi aku lihat.” Alma meneruskan menyapu lantai yang tadi sempat
terhenti.
“Oh, iya sampe lupa, tadi bang Raihan kesini Al, dia sempet nyapa aku, cuma
udah gitu dia langsung ke belakang nyamperin cewek, cantik deh, Al.” Nanin berapi-api.
“Kagak usah jadi kompor deh kamu, hahaha!” Fajar melempar syal yang selalu ia
kenakan kemana pun ke arah Nanin, yang dilempar hanya menggerutu sambil
memasang bibir manyunnya.
Alma hanya geleng-geleng kepala melihat Fajar dan Nanin yang selalu bertengkar
jika sudah bertemu.
“Aku juga baru liat cewek itu, Al!” Fajar berbicara sangat hati-hati.
Fajar memang sangat dekat dengan Raihan. Dulu saat Raihan kuliah di Yogya,
Fajarlah anak pemilik kostan yang ditempati Raihan. Setelah Raihan lulus,
Raihan langsung pulang ke Cirebon dan menjadi tenaga pendidik SMK di kota ini.
Sedangkan Fajar masih konsisten dengan gelar kemahasiswaannya, tentang dia bisa
terdampar di kota ini adalah untuk kepentingan penelitian skripsinya walaupun
sampai sekarang entah sudah sampai mana proses penelitian yang dilakukan Fajar,
terhitung sudah hampir satu tahun dia di kota ini.
“Kamu sehat kan Al?” Fajar kembali bertanya.
“Insyaallah, sehat, Jar!” Alma menunduk murung sembari merapikan jilbabnya.
“Kamu yakin gak kenapa-kenapa?” Fajar menyorotkan matanya ke arah Alma, tajam.
“Aku gak kenapa-kenapa, Jar!” Alma menghela nafas panjang.
“Alma dengan kamu memasang raut muka kayak gitu, kamu mesti tanggung jawab dan
wajib cerita sama kita. Kalau kamu memang gak mau cerita jangan memasang raut
murung ke siapa pun. Sekarang gini deh, misalnya Nanin manyun seharian, trus
kamu nanya ke Nanin kenapa, tapi yang ditanya malah bilang gak kenapa-kenapa,
kesel gak? Kita mesti belajar bertanggung jawab dari hal-hal sederhana,
termasuk bertanggung jawab atas apa yang diekspresikan sama wajah kita sendiri”
Fajar kali ini berbicara tanpa jeda.
Alma
menyandarkan tubuhnya ke tembok. Fajar dan Nanin mendekat lalu duduk di samping
Alma. Jarum jam sudah menunjukan pukul 17.00 WIB. Aula sudah bersih dan
lorong-lorong kampus pun mulai sepi. Hanya tinggal mereka bertiga di Aula ini.
Beberapa panitia yang tadi ikut bersih-bersih pun sudah pulang lebih dulu.
“Sebulan yang
lalu, bang Raihan mau kita berdua jalan sendiri-sendiri dulu!” Bibir Alma
bergetar.
“Putus
maksud kamu?” Nanin seolah tidak percaya.
“Gak putus,
Nan. Kita cuma jalan sendiri-sendiri dulu.” Alma menunduk.
“Apa bedanya
Alma? Jalan sendiri-sendiri itu ya putus, kalian sudah bukan lagi berstatus
pacaran, udahan, alias selesai. Bang Raihan itu lembut makanya dia bilangnya
kayak gitu. Jangan terlalu polos bisa kan Al?” Nanin menatap mata Alma.
“Raihan itu
memang susah ditebak, Al. Bahkan, aku sahabatnya yang udah kenal dia
bertahun-tahun aja kadang suka gak ngerti sama dia.” tambah Fajar
Alma
meringkuk, memeluk lututnya. “Ya, aku belum bisa mengerti dia, selalu aku yang
mau dimengerti, selalu aku yang mau didengar, tapi aku sendiri belum bisa
mengerti dan jadi pendengar yang baik buat dia”
“Alma
berhenti buat menyalahkan diri sendiri, menurutku seh bang Raihan juga gak bisa
jaga perasaan kamu. Baru satu bulan selesai dia udah gandeng cewek ke acara
kamu pula. Yasalam!” Nanin mengelus-elus dada.
“Justru itu
Nan, dia terlalu menjaga perasaanku. Biasanya dia ikut diskusi, tapi tadi
setelah nonton dia langsung pulang. Kebayang kan kalo aku liat dia di forum
berdua sama cewek atau cewek itu tersadar kalo aku pernah menjadi
siapa-siapanya Raihan. Raihan sedang menjaga perasaanku sama cewek itu.” Alma
masih meringkuk.
“Hufft! Akhirnya seh tetep aja kamu liat kan? Cinta itu emang buta. Kalo memang
dia mau menjaga perasaan cewek, ya seharusnya dia gak usah bawa cewek ke acara
kamu, iya tho? Atau kalo nggak, dia gak usah dateng sekalian.” Nanin
bicara sedikit sewot.
“Al, aku dekat sama Raihan juga dekat sama kamu. Kalau aku liat, akhir-akhir
ini kalian berdua itu kayak angin sama api. Tidak memadamkan masalah tapi malah
membesarkan masalah. Makanya aku seh diem-diem aja pas kalian lagi perang
dingin.” Fajar sembari menyalakan rokok
“Aku gak ngerti, kenapa aku begitu keras, begitu emosional, sedangkan Raihan
dia begitu lembut, sabar menghadapi aku yang seperti ini.” Alma menjatuhkan
kepalanya ke lutut.
“Kamu gak keras ko, Al. Justru kamu itu belum bisa konsisten sama diri kamu
sendiri. Waktu aku maen ke rumahmu di Majalengka, aku liat sisi lain dari kamu
ko, Al. Kamu begitu lembut terlebih sama Ibu juga adik-adikmu. Aku tidak
melihat sisi keras dan emosional kamu. Wajar seh dengan umur kamu yang masih 19
tahun, kamu juga lulusan terbaik dan termuda di SMA kamu, kamu juga mahasiswa
termuda disini, tahun ini udah bisa ngambil skripsi pula. Kamu yang masih polos
dan begitu ceria, terbuka sama semua orang, kamu yang selalu ingin tahu,
membuatmu pada akhirnya jadi pusat perhatian dan banyak yang tertarik sama
kamu, sayangnya kamu itu orangnya ceroboh, Al jadi banyak orang yang
memanfaatkan kecerobohan kamu!” Nanin menatap mata Alma.
“Gitu ya, Nan. Aku gak ngerti apapun, aku cuma lagi belajar, bahkan aku gak
pernah mau punya pikiran buruk ke siapa pun. Aku hanya ingin membina hubungan
baik sama siapa pun yang aku temui, Nan.” Alma memasang mata lugu dan polos,
membuat semua mata tidak akan pernah tega menyakiti dia sedikit pun.
Fajar tersenyum gemas melihat Alma. “Mungkin karena memang letak geografis kota
ini yang dekat dengan pantai jadi masyarakat disini cenderung panas, keras, atau
memang ada kutukan untuk kota ini. Kutukan keserakahan. Ya, selama satu tahun
aku di kota ini, aku seolah dibekukan sama hawa kota, dididik untuk hidup
praktis dengan banyak mall dimana-mana, seolah segalanya bisa kita dapat dengan
uang. Betapa hidup itu adalah sebuah proses yang indah dan tidak seharusnya
menjadi serba instan kayak mie instan. Pada akhirnya untuk mereka-mereka yang
gak kuat dan gak sesuai dengan pilihan-pilihan yang ada bakalan kehilangan arah
dan mental entah kemana.”
“Aduh, Fajar hati-hati kamu kalo berstatement, udah dianalis belum
tuh, jangan sampai langsung narik kesimpulan! Coba liat dari berbagai sisi dan
sudut pandang!” Nanin angkat bicara.
“Ya, itu seh menurutku lho, kenyataannya kan banyak yang kehilangan arah pada
akhirnya malah ngambil kesimpulan sendiri-sendiri, termasuk kamu, Alma. Apalagi
ruang-ruang diskusi disini belum banyak yang hidup.” Fajar memusatkan
pandangannya ke depan.
“Ya, kenapa
gak kamu aja tho yang memulai membuka ruang-ruang diskusi disini?”
Nanin menimpali.
“Aku kan pendatang, bukan siapa-siapa. Aku deket sama Alma aja banyak yang
memicingkan mata curiga ke aku ko. Malahan banyak yang langsung underestimate
sama aku. Lagian aku cuma gembel yang numpang hidup disini, hahaha” Fajar
setengah tertawa.
“Udah, gak usah meladeni mereka yang gak suka sama kamu, mereka belum kenal aja
siapa kamu dan siapa Raihan? Biarlah warna setiap orang dan penciptaNya yang
menilai.” Alma menatap Fajar.
Nanin menghela nafas dan menatap Alma, lembut. “Al, kamu masih sayang ya sama
bang Raihan?” Perlahan tangan Nanin mengelus-elus jilbab Alma.
Alma langsung menunduk diam. Tangannya kembali memeluk lutut, meringkuk.
Seperti ada bongkahan yang retak di kedalaman hatinya. Perlahan bongkahan itu
mengucurkan darah dingin ke sekujur tubuhnya. Matanya masih saja menyorotkan
bayangan Raihan yang tersenyum manis untuk wanita itu. Matanya masih saja
merekam jejak Raihan yang berjalan bersama wanita itu.
Ada nafas tertahan di dada Alma, “Bisa jadi itu saudaranya Nan atau memang cuma
teman dekatnya. Aku juga gak mau berjalan dengan prasangka-prasangka negative
yang terkadang kubuat sendiri, Nan. Sekarang seh insyaallah, aku lagi belajar
ikhlas. Masing-masing orang berhak bahagia, apalagi kita belum diikat dengan
ikatan sakral, Raihan berhak menjemput kebahagiaannya. Raihan berhak atas itu.
Bagiku pernah jadi bagian dari hidupnya aja aku udah bersyukur banget ko, Nan.
Dia berhak bahagia dengan wanita pilihannya.” Ada buliran-buliran mutiara yang
ditahan di sudut mata Alma.
Seisi ruangan berubah hening. Ketiganya menyorotkan pandangan ke depan, kosong.
“Pertama kali aku mengenal Raihan, tiga tahun lalu saat aku mau daftar kuliah
di Yogya. Melihat Raihan aku seperti melihat almarhum Bapak, lembut dan
karismatik. Waktu itu bapak lagi koma karena penyakit ginjal yang dideritanya
sampai akhirnya aku ditelpon untuk segera pulang. Bapak sudah siuman dari
komanya, tapi itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Bapak. Bapak meninggal.
Sebelum meninggal Bapak berwasiat agar aku kuliah di perikanan padahal
sebelumnya bapak membebaskanku untuk mengambil jurusan kuliah sesukaku. Tapi,
ikan-ikan bapak seolah sudah menjadi bagian dari hidupnya, tidak ada yang bapak
percaya untuk merawatnya selain aku. Adik-adikku perempuan semua, ibu pun
sakit-sakitan terus. Kuliah di jurusan perikanan menjadi permintaan Bapak yang
pertama dan terakhir. Saat aku kembali bertemu Raihan disini, di kota ini, aku
seperti melihat Bapak dan menemukan kembali mimpiku, Al. Mimpi untuk bisa jadi
penulis.”
Mata Nanin dan Fajar begitu lekat menatap Alma, tidak berkedip.
“Sedari aku kecil, Bapak mendidikku dengan sabar dan telaten. Ibu pun begitu
perhatian dengan perkembanganku juga adik-adikku. Aku sering diajak ke balong
ikan Bapak. Bapak begitu suka ikan dan tumbuhan. Makanya wajar kalau di rumahku
sebagian temboknya adalah akuarium dan tanaman-tanaman hias. Bapak selalu ingin
berdampingan hidup dengan alam, agar seimbang katanya, agar kita bisa hidup
bijaksana. Sampe-sampe pas aku lahir aku diberikan nama, Almaidah Dewi Bahari
artinya hidangan untuk dewi laut. Bapak berharap aku bisa jadi hidangan
kebaikan untuk kehidupan laut terutama dunia perikanan. Itulah Bapak begitu suka
dengan dunia perikanan dan kelautan. Aku tidak pernah melihat Bapak marah,
kalau bapak marah pasti Bapak hanya diam. Dia tidak pernah menghardik
anak-anaknya dengan ucapan-ucapan kotor.”
Alma menghela nafas panjang, dia tetap menahan mutiara-mutiara di sudut
matanya. “Aku melihat Bapak di diri Raihan. Bahkan aku melihat rona kesabaran
yang begitu indah dari Raihan. Raihan begitu memberikan kebebasan kepadaku
untuk memilih dan menentukan, dia mengajarkanku tentang keberagaman dan
bagaimana melihat dunia dari berbagai sisi dan sudut pandang. Dia selalu
menyemangatiku untuk menulis, menulis puisi, cerpen, opini, artikel, atau
apapun, dia membebaskanku. Raihan juga tidak pernah berusaha mengarahkanku
seperti dia, di samping Raihan aku bisa menjadi diri sendiri. Sayangnya, Raihan
tidak pernah nyaman bersamaku, selalu aku yang bercerita, selalu aku yang
didengar. Bahkan, aku tidak pernah tahu ada masalah apa Raihan dengan
keluarganya? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana dengan pekerjaannya, adakah masalah?
Banyak pertanyaan yang pada akhirnya muncul tapi caraku justru malah membuat
dia semakin tidak nyaman, aku terlalu keras.” Alma semakin meringkuk, berharap
buliran-buliran di sudut matanya tidak berjatuhan.
Dalam sekejap Nanin memeluk Alma, dipelukan Nanin, Alma langsung terisak, “Aku
sudah kehilangan Bapak dan sekarang aku harus belajar kehilangan Raihan, Nan!”
“Alma sayang katanya lagi belajar ikhlas? Bukankah kehilangan itu adalah darah
daging dari pertemuan? Suatu saat aku yakin ada orang yang lebih tepat bersama
kamu, mungkin waktunya tidak sekarang tapi nanti.” Nanin menghibur sembari
mengelus-elus jilbab Alma.
“Alma, terkadang Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang yang tidak tepat
sebelum kita dipertemukan dengan orang yang tepat, atau kita memang sudah
bertemu dengan orang yang tepat tapi diwaktu yang tidak tepat, bisa juga kita
sudah dipertemukan dengan orang yang tepat tapi kita mencintainya dengan cara
yang tidak tepat. Iya kan? Segala kemungkinan bisa terjadi ko, Al. Woles
aja! Kalo Raihan gak mau sama kamu aku mau ko, hahahaha” Fajar tertawa
menggoda.
“Dih, gangguan jiwa ya kamu!” Nanin menepuk pundak Fajar.
Mereka bertiga saling bertatapan dan tertawa terbahak-bahak. Seolah mentertawakan
kehidupannya masing-masing, meski di kedalaman yang tidak seorang pun tahu ada
ruang yang begitu sepi disana.
***
Menjelang dini hari, Alma terjaga dari tidurnya. Bayangan Raihan berkelebatan
di langit-langit kamarnya, di pintu, di jendela, di meja, di setiap sudut penuh
dengan Raihan. Senyuman Raihan, bisikan manja Raihan, cara Raihan berbicara,
cara Raihan menatapnya, cara Raihan mengusap ubun-ubunnya, cara Raihan
menggodanya, cara Raihan mencolek dagunya, tawa Raihan, semuanya tentang Raihan
seperti asap yang melingkar memeluk tubuhnya. Alma begitu merindukan Raihan.
Mendadak Alma sesenggukan menahan buliran-buliran air mata yang tidak
bisa ia bendung untuk ke sekian kalinya. Bergegas Alma mengambil air wudhu.
Dihamparkannya sajadah yang sudah lama tidak Ia kenakan untuk shalat malam.
Dalam sujud air bening mengalir deras dari sudut mata Alma. Sesekali tubunya
menggigil menahan batin yang terkoyak-koyak. Betapa ia sangat kotor dan kecil
di hadapan Sang Pencipta. Betapa dia malu pada dirinya sendiri. Dalam keadaan
wajah yang terbasuh air mata, bibir Alma bergetar mendzikirkan asma Allah, dia
lantunkan puisi yang berhasil meremas-remas batinnya.
Sajadah Perawan
Wahai Pemilik Langit Dini yang sedang
berbahagia
bersediakah Engkau mengusap sajadahku yang
basah?
Mengecup keningku yang abu?
Atau memeluk tubuhku yang rapuh?
Masih adakah pintu maafMu
bagi perawan sepertiku?
Ah, tidak!
Apakah aku masih pantas dikatakan seorang
perawan
sedang hatiku sudah lebih dulu diperawani
oleh nafsu duniawi?
Selaput daraku memang tidak berdarah
tapi hatiku yang berdarah Tuhan!
Hatiku berdarah
saat aku terpasung ingatan
ketika aku dan dia saling menelanjangi
pikiran
Kita saling menikmati dan kecanduan
kebahagiaan semu
Ini sajadahku, Tuhan!
Bolehkah aku meminangMu, Tuhan?
meminangMu dengan sajadahku yang perawan
tapi aku yang tidak perawan?
Mata Alma semakin sembab. Ya, baginya keperawanan tidak hanya tentang selaput
dara. Keperawanaan tidak sekedar tentang menjaga kewanitaan saja. Tapi lebih
dari itu keperawanan adalah bagaimana kita menjaga diri kita secara lahiriah
dan batiniah hanya untuk dihibahkan kepada suami kita kelak. Selaput daranya
memang tidak sobek, tapi hatinyalah yang sobek dan berdarah-darah. Alma tidak
menyalahkan siapapun. Alma meringkuk menyalahkan dirinya yang tidak mampu
menjaga hijabnya sendiri.
“Aku wanita berjilbab, tapi aku telah memerawani jilbabku sendiri! Rajam aku
saja Rabb agar tubuhku melepuhkan segala borok yang kubuat sendiri, rajam aku
saja, Rabb! Aku tidak takut kehilangan siapapun, kehilangan apapun, asalkan aku
tidak kehilangan cinta kasihMu, Rabb! Peluk aku! Peluk aku, Rabb!” Mukena Alma
dibanjiri air mata, sajadahnya menggenangkan segala duka yang mengalir dari
setiap rongga tubuhnya. Alma tenggelam dalam air mata.
*Selesai*
Cirebon, 30 Maret 2013