Pages

Rabu, 03 April 2013

Cerpen: Sajadah Perawan

Karya: Nia Nurohmiasih
          
  “Aku melihatmu, Rai. Saat lampu dinyalakan, aku yang sedari tadi menjadi MC di acara nonton dan diskusi dokumenter film langsung menyapu pandanganku ke seluruh ruangan. Dokumenter film telah usai ditayangkan acara selanjutnya adalah diskusi santai tentang dokumenter film tersebut, sebelum diskusi aku mempersilakan peserta untuk istirahat dan meregangkan badan. Kutatap satu persatu penonton yang hadir. Aku mencarimu, Rai, dan sekarang aku melihatmu.
             Ternyata tidak ada yang berubah darimu, Rai. Kau masih tetap saja terlihat manis dengan upluk di kepalamu, sweeter abu, celana jeans dan sepatu tempurmu itu. Aku tersenyum kecil melihatmu. Aku jadi ingat, dulu kau pernah mengeluh manja tidak percaya diri dengan model rambutmu yang sekarang. Makanya kau sering sekali mengenakan upluk. Ah, aku mencintai segala hal yang ada pada dirimu, Rai. Aku tidak peduli model rambutmu seperti apa? Yang aku tahu, Rai tetap menjadi Rai yang manis bahkan lebih imut dengan model rambut sekarang.
            Saat aku melihatmu. Sungguh demi apapun aku ingin langsung menghambur ke arahmu, sekedar ingin berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih telah datang. Baru lima langkah, langkahku terhenti. Mataku tertegun melihatmu berbincang dengan seorang wanita. Parasnya ayu. Dia mengenakan dress hijau, anggun. Jilbabnya dililitkan kedepan dan ke belakang, terlihat modis dan cantik. Seketika itu, aku langsung melihat diriku. Aku masih saja bertahan dengan celana jeans belel, kaos oblong, dan jilbab yang kupakai sekenanya. Wajahku pun hanya dipoles pelembab, taburan bedak bayi, dan sedikit lip ice. Minimalis. Aku tidak lihai dalam berdandan.
              Aku mundur beberapa langkah. Aku tidak ingin merusak perbincanganmu dengan wanita itu. Tidak lama, di tengah-tengah kerumunan kakiku sepert dipaku, lidahku kelu melihatmu berjalan beriringan dengan wanita itu keluar ruangan. Tuhan mohon stabilkan irama jantungku agar tidak jatuh di kerumunan. Astagfirullah, Siapa dia? Sudahlah, bisa jadi itu saudara atau sepupunya, atau temannya. Aku tidak ingin berjalan dengan prasangka-prasangka negative yang terkadang kubuat sendiri. Kutarik nafas perlahan dan kusunggingkan senyum. Cerialah Alma! :D”
             Acara nonton dan diskusi dokumenter film tentang potret nelayan telah usai sejak satu jam lalu. Aula sudah hampir sepi, hanya beberapa orang panitia yang tersisa di Aula ini. Mereka sedang bersih-bersih terkecuali Alma. Dia masih saja duduk di pojok Aula dengan buku catatan dan pena yang digoyang-goyangkan mengikuti jalan kertas yang masih kosong. Dia seolah ingin terus menulis memenuhi jalan-jalan kertas yang masih bersih dan polos itu.
              “Al, kamu lagi ngapain deh? Ayoo sini bantuin kita! Sebentar lagi selesai neh!” Teriak Nanin sambil merapikan kabel-kabel proyektor.
              “Oh, lagi beres-beres ya? Hahah, lupa! Biasa penaku suka goyang-goyang di tas kalo udah nemuin sinyal diksi! Hehehe” Alma cengengesan.
              “Beuh, segitunya kamu, Al! Kenapa kamu gak ngambil sastra aja seh tiba-tiba banting stir ke Perikanan? Ckck,” Nanin masih merapikan proyektor.
              Alma menghela nafas panjang sembari mengambil sapu di pojok ruangan. “Nanin sayang, emang salah yah kalo mahasiswa perikanan nulis puisi, cerpen atau hal-hal yang berbau sastra?”
             “Ya, nggak juga seh, tapi setidaknya itu membuatmu lebih fokus dan bisa berenang sampai kedalamannya, gak cuma ngobok-ngobok airnya doang.” Jelas Nanin.
            Alma membalas dengan senyuman, “Emang kita pernah tau kedalamannya sampai mana? Dari dulu juga aku maunya emang jurusan sastra dan kuliah di Yogya atau Bandung.”
         “Gak mesti jauh-jauh ke Yogya atau Bandung, kuliah itu ya tergantung kamunya, disini juga kan ada jurusan sastra. Sayang lho Al sama bakatmu!” Nanin kini beralih merapikan map-map di meja tamu.
        “Almarhum Bapak maunya aku di jurusan Perikanan dan kuliah dekat dari kotaku, ya Cirebon ini yang paling dekat dengan Majalengka, sedangkan di Majalengka gak ada jurusan perikanan, Nan. apalagi aku anak tertua. Aku juga gak tega sama Ibu dan adik-adikku, nanti siapa yang ngurusin balong-balong ikan peninggalan almarhum bapak, itu satu-satunya pencaharian keluargaku. Aku ikhlas ko masuk perikanan dan bukan berarti aku harus berhenti untuk belajar sastra kan? Menurutku, ikan-ikan yang berdzikir kepada Tuhan dengan cara berlenggok-lenggok itu sangat puitis.” Mata Alma berbinar.
        “Kamu ini bisa aja ya, hahaha... tapi bener juga seh, Al. Sempit banget ya, kalo kita berpikiran bahwa kita mahasiswa jurusan Perikanan haram untuk belajar ilmu lain, melulu harus berkutat dengan ilmu-ilmu keperikanan aja, yang ada nanti malah merasa bahwa ilmu kita paling benar dan yang lain itu cuma buang-buang waktu mempelajarinya, padahal ilmu itu kan saling terhubung.” celoteh Nanin sambil mengeser-geser meja tamu ke tempat semula.
       “Tergantung kecenderungan orang tersebut, Nan. Toh pilihan-pilihan itu sudah ada tinggal keberanian dari kita untuk memilih. Ya, menentukan sikap. Bahkan suatu saat aku bermimpi ingin membuat sebuah novel tentang kehidupan nelayan di sekitar kita sampai kisah-kisah nelayan di perbatasan sana.” Mata Alma menerawang sembari memainkan sapu di tangannya.
        “Keren! Nanti sekalian kamu bikin novel tentang kisah hidupku juga dong Al!” Nada Nanin memohon sembari merapikan rambutnya yang tergerai indah.
        “Aduh, kisah hidupmu itu kalo ditulis lebih dari beratus-ratus halaman dan observasinya mungkin harus ke luar pulau, belum lagi detail-detail kisah kamu bisa terdampar disini kan panjang banget. Bisa nyampe tua aku nyelesein kisah kamu, Nan. Hahahaha..” Alma dengan raut meledek.
         “Sialan!” Bibir Nanin manyun.
         “Cie, menggemaskan deh Nona Nanin kalo lagi manyun” Alma sembari mengacak-ngacak rambut Nanin.
         “Almaaa, aku paling gak suka rambutku diacak-acak. Aduh, ini rambut kan udah aku kasih vitamin, nanti bisa-bisa penyakitan kalau dipegang kamu” Nanin setengah teriak.
         Alma hanya tertawa geli melihat Nanin menambah pose bibirnya ke depan, semakin manyun.
         “Ada apan seh? Rame banget ikutan dong!” Fajar masuk ke Aula sembari membawa air mineral. Tanpa berpikir panjang Nanin langsung mengambil air mineral di tangan Fajar.
         “Nanin, kebiasan deh kamu, kebagian semua ko!” Fajar tersenyum kecil melihat Nanin.
         “Alma buat kamu!” Fajar menyodorkan air mineral ke arah Alma.
         “Oh, iya, makasih, Jar!” Alma tersenyum manis.
         “Tadi kamu ketemu Raihan?” tanya Fajar sembari menjatuhkan tubuhnya di kursi.
         “Nggak, tapi aku lihat.” Alma meneruskan menyapu lantai yang tadi sempat terhenti.
         “Oh, iya sampe lupa, tadi bang Raihan kesini Al, dia sempet nyapa aku, cuma udah gitu dia langsung ke belakang nyamperin cewek, cantik deh, Al.” Nanin berapi-api.
         “Kagak usah jadi kompor deh kamu, hahaha!” Fajar melempar syal yang selalu ia kenakan kemana pun ke arah Nanin, yang dilempar hanya menggerutu sambil memasang bibir manyunnya.
         Alma hanya geleng-geleng kepala melihat Fajar dan Nanin yang selalu bertengkar jika sudah bertemu.
         “Aku juga baru liat cewek itu, Al!” Fajar berbicara sangat hati-hati.
         Fajar memang sangat dekat dengan Raihan. Dulu saat Raihan kuliah di Yogya, Fajarlah anak pemilik kostan yang ditempati Raihan. Setelah Raihan lulus, Raihan langsung pulang ke Cirebon dan menjadi tenaga pendidik SMK di kota ini. Sedangkan Fajar masih konsisten dengan gelar kemahasiswaannya, tentang dia bisa terdampar di kota ini adalah untuk kepentingan penelitian skripsinya walaupun sampai sekarang entah sudah sampai mana proses penelitian yang dilakukan Fajar, terhitung sudah hampir satu tahun dia di kota ini.
         “Kamu sehat kan Al?” Fajar kembali bertanya.
         “Insyaallah, sehat, Jar!” Alma menunduk murung sembari merapikan jilbabnya.
         “Kamu yakin gak kenapa-kenapa?” Fajar menyorotkan matanya ke arah Alma, tajam.
         “Aku gak kenapa-kenapa, Jar!” Alma menghela nafas panjang.
         “Alma dengan kamu memasang raut muka kayak gitu, kamu mesti tanggung jawab dan wajib cerita sama kita. Kalau kamu memang gak mau cerita jangan memasang raut murung ke siapa pun. Sekarang gini deh, misalnya Nanin manyun seharian, trus kamu nanya ke Nanin kenapa, tapi yang ditanya malah bilang gak kenapa-kenapa, kesel gak? Kita mesti belajar bertanggung jawab dari hal-hal sederhana, termasuk bertanggung jawab atas apa yang diekspresikan sama wajah kita sendiri” Fajar kali ini berbicara tanpa jeda.
        Alma menyandarkan tubuhnya ke tembok. Fajar dan Nanin mendekat lalu duduk di samping Alma. Jarum jam sudah menunjukan pukul 17.00 WIB. Aula sudah bersih dan lorong-lorong kampus pun mulai sepi. Hanya tinggal mereka bertiga di Aula ini. Beberapa panitia yang tadi ikut bersih-bersih pun sudah pulang lebih dulu.
       “Sebulan yang lalu, bang Raihan mau kita berdua jalan sendiri-sendiri dulu!” Bibir Alma bergetar.
       “Putus maksud kamu?” Nanin seolah tidak percaya.
       “Gak putus, Nan. Kita cuma jalan sendiri-sendiri dulu.” Alma menunduk.
       “Apa bedanya Alma? Jalan sendiri-sendiri itu ya putus, kalian sudah bukan lagi berstatus pacaran, udahan, alias selesai. Bang Raihan itu lembut makanya dia bilangnya kayak gitu. Jangan terlalu polos bisa kan Al?” Nanin menatap mata Alma.
       “Raihan itu memang susah ditebak, Al. Bahkan, aku sahabatnya yang udah kenal dia bertahun-tahun aja kadang suka gak ngerti sama dia.” tambah Fajar
        Alma meringkuk, memeluk lututnya. “Ya, aku belum bisa mengerti dia, selalu aku yang mau dimengerti, selalu aku yang mau didengar, tapi aku sendiri belum bisa mengerti dan jadi pendengar yang baik buat dia”
        “Alma berhenti buat menyalahkan diri sendiri, menurutku seh bang Raihan juga gak bisa jaga perasaan kamu. Baru satu bulan selesai dia udah gandeng cewek ke acara kamu pula. Yasalam!” Nanin mengelus-elus dada.
       “Justru itu Nan, dia terlalu menjaga perasaanku. Biasanya dia ikut diskusi, tapi tadi setelah nonton dia langsung pulang. Kebayang kan kalo aku liat dia di forum berdua sama cewek atau cewek itu tersadar kalo aku pernah menjadi siapa-siapanya Raihan. Raihan sedang menjaga perasaanku sama cewek itu.” Alma masih meringkuk.
        “Hufft! Akhirnya seh tetep aja kamu liat kan? Cinta itu emang buta. Kalo memang dia mau menjaga perasaan cewek, ya seharusnya dia gak usah bawa cewek ke acara kamu, iya tho? Atau kalo nggak, dia gak usah dateng sekalian.” Nanin bicara sedikit sewot.
         “Al, aku dekat sama Raihan juga dekat sama kamu. Kalau aku liat, akhir-akhir ini kalian berdua itu kayak angin sama api. Tidak memadamkan masalah tapi malah membesarkan masalah. Makanya aku seh diem-diem aja pas kalian lagi perang dingin.” Fajar sembari menyalakan rokok
         “Aku gak ngerti, kenapa aku begitu keras, begitu emosional, sedangkan Raihan dia begitu lembut, sabar menghadapi aku yang seperti ini.” Alma menjatuhkan kepalanya ke lutut.
         “Kamu gak keras ko, Al. Justru kamu itu belum bisa konsisten sama diri kamu sendiri. Waktu aku maen ke rumahmu di Majalengka, aku liat sisi lain dari kamu ko, Al. Kamu begitu lembut terlebih sama Ibu juga adik-adikmu. Aku tidak melihat sisi keras dan emosional kamu. Wajar seh dengan umur kamu yang masih 19 tahun, kamu juga lulusan terbaik dan termuda di SMA kamu, kamu juga mahasiswa termuda disini, tahun ini udah bisa ngambil skripsi pula. Kamu yang masih polos dan begitu ceria, terbuka sama semua orang, kamu yang selalu ingin tahu, membuatmu pada akhirnya jadi pusat perhatian dan banyak yang tertarik sama kamu, sayangnya kamu itu orangnya ceroboh, Al jadi banyak orang yang memanfaatkan kecerobohan kamu!” Nanin menatap mata Alma.
         “Gitu ya, Nan. Aku gak ngerti apapun, aku cuma lagi belajar, bahkan aku gak pernah mau punya pikiran buruk ke siapa pun. Aku hanya ingin membina hubungan baik sama siapa pun yang aku temui, Nan.” Alma memasang mata lugu dan polos, membuat semua mata tidak akan pernah tega menyakiti dia sedikit pun.
          Fajar tersenyum gemas melihat Alma. “Mungkin karena memang letak geografis kota ini yang dekat dengan pantai jadi masyarakat disini cenderung panas, keras, atau memang ada kutukan untuk kota ini. Kutukan keserakahan. Ya, selama satu tahun aku di kota ini, aku seolah dibekukan sama hawa kota, dididik untuk hidup praktis dengan banyak mall dimana-mana, seolah segalanya bisa kita dapat dengan uang. Betapa hidup itu adalah sebuah proses yang indah dan tidak seharusnya menjadi serba instan kayak mie instan. Pada akhirnya untuk mereka-mereka yang gak kuat dan gak sesuai dengan pilihan-pilihan yang ada bakalan kehilangan arah dan mental entah kemana.”
         “Aduh, Fajar hati-hati kamu kalo berstatement, udah dianalis belum tuh, jangan sampai langsung narik kesimpulan! Coba liat dari berbagai sisi dan sudut pandang!” Nanin angkat bicara.
         “Ya, itu seh menurutku lho, kenyataannya kan banyak yang kehilangan arah pada akhirnya malah ngambil kesimpulan sendiri-sendiri, termasuk kamu, Alma. Apalagi ruang-ruang diskusi disini belum banyak yang hidup.” Fajar memusatkan pandangannya ke depan.
          “Ya, kenapa gak kamu aja tho yang memulai membuka ruang-ruang diskusi disini?” Nanin menimpali.
          “Aku kan pendatang, bukan siapa-siapa. Aku deket sama Alma aja banyak yang memicingkan mata curiga ke aku ko. Malahan banyak yang langsung underestimate sama aku. Lagian aku cuma gembel yang numpang hidup disini, hahaha” Fajar setengah tertawa.
          “Udah, gak usah meladeni mereka yang gak suka sama kamu, mereka belum kenal aja siapa kamu dan siapa Raihan? Biarlah warna setiap orang dan penciptaNya yang menilai.” Alma menatap Fajar.
          Nanin menghela nafas dan menatap Alma, lembut. “Al, kamu masih sayang ya sama bang Raihan?” Perlahan tangan Nanin mengelus-elus jilbab Alma.
          Alma langsung menunduk diam. Tangannya kembali memeluk lutut, meringkuk. Seperti ada bongkahan yang retak di kedalaman hatinya. Perlahan bongkahan itu mengucurkan darah dingin ke sekujur tubuhnya. Matanya masih saja menyorotkan bayangan Raihan yang tersenyum manis untuk wanita itu. Matanya masih saja merekam jejak Raihan yang berjalan bersama wanita itu.
           Ada nafas tertahan di dada Alma, “Bisa jadi itu saudaranya Nan atau memang cuma teman dekatnya. Aku juga gak mau berjalan dengan prasangka-prasangka negative yang terkadang kubuat sendiri, Nan. Sekarang seh insyaallah, aku lagi belajar ikhlas. Masing-masing orang berhak bahagia, apalagi kita belum diikat dengan ikatan sakral, Raihan berhak menjemput kebahagiaannya. Raihan berhak atas itu. Bagiku pernah jadi bagian dari hidupnya aja aku udah bersyukur banget ko, Nan. Dia berhak bahagia dengan wanita pilihannya.” Ada buliran-buliran mutiara yang ditahan di sudut mata Alma.
           Seisi ruangan berubah hening. Ketiganya menyorotkan pandangan ke depan, kosong.
           “Pertama kali aku mengenal Raihan, tiga tahun lalu saat aku mau daftar kuliah di Yogya. Melihat Raihan aku seperti melihat almarhum Bapak, lembut dan karismatik. Waktu itu bapak lagi koma karena penyakit ginjal yang dideritanya sampai akhirnya aku ditelpon untuk segera pulang. Bapak sudah siuman dari komanya, tapi itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Bapak. Bapak meninggal. Sebelum meninggal Bapak berwasiat agar aku kuliah di perikanan padahal sebelumnya bapak membebaskanku untuk mengambil jurusan kuliah sesukaku. Tapi, ikan-ikan bapak seolah sudah menjadi bagian dari hidupnya, tidak ada yang bapak percaya untuk merawatnya selain aku. Adik-adikku perempuan semua, ibu pun sakit-sakitan terus. Kuliah di jurusan perikanan menjadi permintaan Bapak yang pertama dan terakhir. Saat aku kembali bertemu Raihan disini, di kota ini, aku seperti melihat Bapak dan menemukan kembali mimpiku, Al. Mimpi untuk bisa jadi penulis.”
           Mata Nanin dan Fajar begitu lekat menatap Alma, tidak berkedip.
           “Sedari aku kecil, Bapak mendidikku dengan sabar dan telaten. Ibu pun begitu perhatian dengan perkembanganku juga adik-adikku. Aku sering diajak ke balong ikan Bapak. Bapak begitu suka ikan dan tumbuhan. Makanya wajar kalau di rumahku sebagian temboknya adalah akuarium dan tanaman-tanaman hias. Bapak selalu ingin berdampingan hidup dengan alam, agar seimbang katanya, agar kita bisa hidup bijaksana. Sampe-sampe pas aku lahir aku diberikan nama, Almaidah Dewi Bahari artinya hidangan untuk dewi laut. Bapak berharap aku bisa jadi hidangan kebaikan untuk kehidupan laut terutama dunia perikanan. Itulah Bapak begitu suka dengan dunia perikanan dan kelautan. Aku tidak pernah melihat Bapak marah, kalau bapak marah pasti Bapak hanya diam. Dia tidak pernah menghardik anak-anaknya dengan ucapan-ucapan kotor.”
           Alma menghela nafas panjang, dia tetap menahan mutiara-mutiara di sudut matanya. “Aku melihat Bapak di diri Raihan. Bahkan aku melihat rona kesabaran yang begitu indah dari Raihan. Raihan begitu memberikan kebebasan kepadaku untuk memilih dan menentukan, dia mengajarkanku tentang keberagaman dan bagaimana melihat dunia dari berbagai sisi dan sudut pandang. Dia selalu menyemangatiku untuk menulis, menulis puisi, cerpen, opini, artikel, atau apapun, dia membebaskanku. Raihan juga tidak pernah berusaha mengarahkanku seperti dia, di samping Raihan aku bisa menjadi diri sendiri. Sayangnya, Raihan tidak pernah nyaman bersamaku, selalu aku yang bercerita, selalu aku yang didengar. Bahkan, aku tidak pernah tahu ada masalah apa Raihan dengan keluarganya? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana dengan pekerjaannya, adakah masalah? Banyak pertanyaan yang pada akhirnya muncul tapi caraku justru malah membuat dia semakin tidak nyaman, aku terlalu keras.” Alma semakin meringkuk, berharap buliran-buliran di sudut matanya tidak berjatuhan.
            Dalam sekejap Nanin memeluk Alma, dipelukan Nanin, Alma langsung terisak, “Aku sudah kehilangan Bapak dan sekarang aku harus belajar kehilangan Raihan, Nan!”
           “Alma sayang katanya lagi belajar ikhlas? Bukankah kehilangan itu adalah darah daging dari pertemuan? Suatu saat aku yakin ada orang yang lebih tepat bersama kamu, mungkin waktunya tidak sekarang tapi nanti.” Nanin menghibur sembari mengelus-elus jilbab Alma.
           “Alma, terkadang Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang yang tidak tepat sebelum kita dipertemukan dengan orang yang tepat, atau kita memang sudah bertemu dengan orang yang tepat tapi diwaktu yang tidak tepat, bisa juga kita sudah dipertemukan dengan orang yang tepat tapi kita mencintainya dengan cara yang tidak tepat. Iya kan? Segala kemungkinan bisa terjadi ko, Al. Woles aja! Kalo Raihan gak mau sama kamu aku mau ko, hahahaha” Fajar tertawa menggoda.
          “Dih, gangguan jiwa ya kamu!” Nanin menepuk pundak Fajar.
          Mereka bertiga saling bertatapan dan tertawa terbahak-bahak. Seolah mentertawakan kehidupannya masing-masing, meski di kedalaman yang tidak seorang pun tahu ada ruang yang begitu sepi disana.
***
           Menjelang dini hari, Alma terjaga dari tidurnya. Bayangan Raihan berkelebatan di langit-langit kamarnya, di pintu, di jendela, di meja, di setiap sudut penuh dengan Raihan. Senyuman Raihan, bisikan manja Raihan, cara Raihan berbicara, cara Raihan menatapnya, cara Raihan mengusap ubun-ubunnya, cara Raihan menggodanya, cara Raihan mencolek dagunya, tawa Raihan, semuanya tentang Raihan seperti asap yang melingkar memeluk tubuhnya. Alma begitu merindukan Raihan. Mendadak Alma sesenggukan menahan buliran-buliran air mata yang tidak bisa ia bendung untuk ke sekian kalinya. Bergegas Alma mengambil air wudhu. Dihamparkannya sajadah yang sudah lama tidak Ia kenakan untuk shalat malam.
          Dalam sujud air bening mengalir deras dari sudut mata Alma. Sesekali tubunya menggigil menahan batin yang terkoyak-koyak. Betapa ia sangat kotor dan kecil di hadapan Sang Pencipta. Betapa dia malu pada dirinya sendiri. Dalam keadaan wajah yang terbasuh air mata, bibir Alma bergetar mendzikirkan asma Allah, dia lantunkan puisi yang berhasil meremas-remas batinnya. 
Sajadah Perawan
Wahai Pemilik Langit Dini yang sedang berbahagia
bersediakah Engkau mengusap sajadahku yang basah?
Mengecup keningku yang abu?
Atau memeluk tubuhku yang rapuh?
Masih adakah pintu maafMu
bagi perawan sepertiku?
Ah, tidak!
Apakah aku masih pantas dikatakan seorang perawan
sedang hatiku sudah lebih dulu diperawani oleh nafsu duniawi?
Selaput daraku memang tidak berdarah
tapi hatiku yang berdarah Tuhan!
Hatiku berdarah
saat aku terpasung ingatan
ketika aku dan dia saling menelanjangi pikiran
Kita saling menikmati dan kecanduan
kebahagiaan semu
Ini sajadahku, Tuhan!
Bolehkah aku meminangMu, Tuhan?
meminangMu dengan sajadahku yang perawan
tapi aku yang tidak perawan?
            Mata Alma semakin sembab. Ya, baginya keperawanan tidak hanya tentang selaput dara. Keperawanaan tidak sekedar tentang menjaga kewanitaan saja. Tapi lebih dari itu keperawanan adalah bagaimana kita menjaga diri kita secara lahiriah dan batiniah hanya untuk dihibahkan kepada suami kita kelak. Selaput daranya memang tidak sobek, tapi hatinyalah yang sobek dan berdarah-darah. Alma tidak menyalahkan siapapun. Alma meringkuk menyalahkan dirinya yang tidak mampu menjaga hijabnya sendiri.
           “Aku wanita berjilbab, tapi aku telah memerawani jilbabku sendiri! Rajam aku saja Rabb agar tubuhku melepuhkan segala borok yang kubuat sendiri, rajam aku saja, Rabb! Aku tidak takut kehilangan siapapun, kehilangan apapun, asalkan aku tidak kehilangan cinta kasihMu, Rabb! Peluk aku! Peluk aku, Rabb!” Mukena Alma dibanjiri air mata, sajadahnya menggenangkan segala duka yang mengalir dari setiap rongga tubuhnya. Alma tenggelam dalam air mata.
*Selesai*
Cirebon, 30 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar